Hati-hati dengan Musim Kemarau! BMKG Memprediksi Potensi Kekeringan Meteorologi di Indonesia
Menurut BMKG, ada beberapa wilayah di Indonesia yang mungkin mengalami kekeringan musim kemarau ini. Oleh karena itu, diperlukan kesiagaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengatasi masalah ini.
Laporan mengenai kondisi iklim dan kesiapan menghadapi kekeringan pada tahun 2024 sudah kami sampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dengan demikian, risiko dan dampak yang mungkin timbul dapat diantisipasi dan diminimalkan seminimal mungkin.” Demikian yang diungkapkan oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 28 Mei 2024.
Menurut Dwikorita, mayoritas wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) selama 21-30 hari atau bahkan lebih lama. Analisis BMKG menunjukkan bahwa cuaca kering mulai melanda sebagian wilayah Indonesia, terutama di bagian Selatan Khatulistiwa berdasarkan curah hujan dan sifat hujan yang diamati.
Menurut para ahli, sekitar 19% wilayah Indonesia sudah memasuki Zona Musim Kemarau. Dalam tiga dasarian mendatang, diperkirakan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara akan menyusul dengan masuk ke musim kemarau. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung hingga akhir bulan September dan akan berdampak besar pada ketersediaan air di Indonesia.
Menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik menunjukkan indeks ENSO sebesar +0.21 hingga dasarian II Mei 2024. Ini menandakan bahwa kondisi iklim saat ini berada pada level netral. Prediksi kedepannya adalah akan tetap dalam fase netral hingga periode Juni-Juli 2024. Namun di bulan-bulan berikutnya, yaitu Juli-Agustus-September 2024, kemungkinan besar akan beralih ke fase La Nina lemah yang berlangsung sampai akhir tahun tersebut. Meskipun demikian, fenomena ini tidak diperkirakan akan berdampak pada musim kemarau yang sebentar lagi tiba. Di Samudera Hindia, kondisi suhu muka laut saat ini masih netral namun ada kecenderungan untuk bergeser ke fase IOD Positif dalam waktu dekat.
Dengan adanya fakta tersebut, perlu ada perhatian khusus untuk mencegah dan mengurangi dampak kekeringan di daerah yang memiliki curah hujan bulanan yang sangat rendah, yaitu kurang dari 50mm per bulan. Daerah-daerah ini termasuk Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali dan Nusa Tenggara, sebagian Pulau Sulawesi, dan sebagian Maluku dan Papua.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan dengan satelit, terlihat adanya beberapa hotspot awal di daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dengan begitu, kita perlu lebih waspada untuk mencegah terjadinya kebakaran selama musim kemarau.
“Dengan memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek yang terkini, kami menyadari bahwa masih ada waktu yang sangat singkat untuk dimanfaatkan sebelum memasuki pertengahan musim kemarau,” kata dia.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca, Tri Handoko Seto, BMKG telah menyusun sejumlah rekomendasi teknis untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah penerapan teknologi modifikasi cuaca untuk pengisian waduk di daerah yang rawan mengalami kekeringan saat musim kemarau. Selain itu, teknologi ini juga dapat membantu meningkatkan ketinggian muka air tanah pada daerah-daerah yang berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan atau pada lahan gambut.
Menurut Seto, agar upaya modifikasi cuaca dapat efektif dan efisien dalam mengurangi potensi bencana kekeringan, BMKG berharap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Pertanian dapat memastikan bahwa jaringan irigasi dari waduk ke kawasan yang terdampak kekeringan cukup kuat. Dengan demikian, mereka dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama secara sukses.
Dalam pertemuan terakhirnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mendorong pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan dalam memanfaatkan hujan yang masih turun atau musim transisi sebagai sumber air. Ini dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti menggunakan tandon, embung, kolam retensi, sumur resapan, dan lainnya sebagai upaya untuk membantu mengurangi dampak dari kejadian ekstrem hidrometeorologi basah.
Dalam hal pertanian, pola dan waktu penanaman harus disesuaikan dengan iklim kering di wilayah yang terdampak. Untuk mengatasi ini, BMKG bekerjasama dengan Menteri Pertanian dan Gubernur Provinsi yang terkena dampak untuk menentukan langkah selanjutnya.
Menurut Dwikorita, BMKG berharap informasi peringatan dini tentang musim kemarau dapat dimanfaatkan secara efektif oleh pemerintah pusat dan daerah. Hal ini penting untuk meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi.
Share this content:
Post Comment